Tidak dapat disangkal bahwa terpaan teknologi berupa perangkat lunak (software) maupun perangkat keras (hardware)
sudah semakin menyatu dengan kehidupan manusia modern. Dalam bidang
pembelajaran, kehadiran media pembelajaran misalnya sudah dirasakan
banyak membantu guru dalam mencapai tujuan pembelajarannya. Dalam era
teknologi dan informasi ini, pemanfaatan kecanggihan teknologi untuk
kepentingan pembelajaran sudah bukan merupakan hal yang baru lagi. Salah
satu media pembelajaran baru yang akhir-akhir ini semakin menggeserkan
peranan seorang guru adalah teknologi multimedia yang tersedia melalui
perangkat komputer ataupun internet.
Dengan teknologi ini, kita bisa belajar apa saja, kapan
saja dan di mana saja. Di Indonesia, meskipun teknologi ini belum
digunakan secara luas namun cepat atau lambat teknologi ini akan diserap
juga ke dalam sistem pembelajaran di pelatihan. Dalam tulisan ini akan
dikemukakan beberapa persoalan yang muncul sebagai akibat dari
diterapkannya teknologi ini dalam latar pendidikan.
Pertama, berkaitan dengan orientasi filosofis. Ada dua
masalah orientasi filosofis yang muncul akibat penerapan teknologi
multimedia ini yakni masalah yang berasal dari pandangan kaum objektivis
dan yang berasal dari pandangan kaum konstruktivis. Kaum objektivis
menilai desain multimedia sebagai sesuatu yang sangat riil yang dapat
membantu proses pembelajaran peserta menuju kepada tujuan yang
diharapkan (Jonassen, 1991). Materi yang berwujud pengetahuan atau
ketrampilan yang hendak dicapai oleh peserta didik harus dirancang
secara jadi oleh para pengembang instruksional dan dikemas dalam
teknologi multimedia ini.
Sebaliknya kaum konstruktivis berpendapat bahwa
pengetahuan hendaklah dibentuk oleh peserta sendiri berdasarkan
penafsirannya terhadap pengalaman dan gejala hidup yang dialami (Merril,
1991). Belajar adalah suatu interpretasi personal terhadap pengalaman
dan kenyataan hidup yang dialami. Berdasarkan pandangan ini maka belajar
bersifat aktif, kolaboratif dan terkondisi dalam konteks dunia yang
riil.
Kedua, berhubungan dengan lingkungan belajar. Lingkungan
belajar multimedia interaktif dapat dikategorikan dalam tiga jenis yakni
lingkungan belajar preskriptif, demokratis dan sibernetik (Schwier,
1993). Masing-masing lingkungan belajar memiliki orientasi dan kekhasan
sendiri-sendiri. Lingkungan preskriptif menekankan bahwa prestasi
belajar merupakan pencapaian dari tujuan belajar yang ditetapkan secara
eksternal. Interaksi belajar terjadi antara peserta dengan bahan-bahan
belajar yang sudah tersedia dan belajar merupakan suatu kegiatan yang
bersifat prosedural. Lingkungan belajar demokratis menekankan kontrol
proaktif peserta atas proses belajarnya sendiri, yang mencakup penetapan
tujuan belajar sendiri, kontrol peserta terhadap urutan-urutan
pembelajaran, hakekat pengalaman dan kedalaman materi belajar yang
dicarinya. Sedangkan lingkungan belajar sibernetik menekankan saling
ketergantungan antara sistem belajar dan peserta.
Ketiga, berhubungan dengan desain instruksional. Pada
umumnya, desain pembelajaran multimedia dibuat berdasarkan besar
kecilnya pengendalian dari peserta itu sendiri atas pembelajarannya.
Sebagian besar peneliti mengatakan bahwa peserta bisa diberdayakan
melalui kontrol yang lebih besar atas belajarnya tetapi peserta bisa
juga dihambat melalui kontrol atas belajarnya. Dalam lingkungan yang
demokratis dan sibernetik, kegiatan pembelajaran multimedia bervariasi
dan tersedia untuk peserta pada saat kapan saja dan dalam berbagai
bentuk sehingga bisa memuaskan kebutuhan-kebutuhan yang ditetapkannya
sendiri. Dalam lingkungan belajar preskriptif, kontrol eksternal
nampaknya dipaksakan selama tahap awal belajar dan semakin berkurang
ketika sudah terlihat kemajuan yang berarti dalam diri peserta berupa
perubahan perilaku ke arah yang diharapkan.
Keempat, berkaitan dengan umpan balik. Sifat dari umpan
balik dalam pembelajaran multimedia sangat bervariasi tergantung pada
lingkungan dimana multimedia itu digunakan. Dalam lingkungan belajar
preskriptif, umpan balik sering mengambil bentuk koreksi dan deteksi
terhadap kesalahan yang dibuat. Dalam lingkungan belajar demokratis,
umpan balik sering mengambil bentuk nasehat atau anjuran, yakni sekedar
pemberitahuan kepada peserta tentang akibat-akibat yang muncul dari
suatu pilihan tertentu atau juga berisi rekomendasi. Dalam lingkungan
belajar sibernetik, umpan balik merupakan suatu negosiasi atau
perundingan. Peserta menetapkan arah atau petunjuk sendiri dan membuat
pilihannya sendiri dan sistem belajar akan berusaha mempelajari
pola-pola yang muncul sehubungan dengan kebutuhannya itu dan memberikan
respon terhadap peserta dengan menyediakan tantangan-tantangan baru.
Kelima, sifat sosial dari jenis pembelajaran ini. Banyak
kritik telah dilontarkan terhadap pembelajaran multimedia sebagai
pembelajaran yang bersifat isolatif sehingga bertentangan dengan tujuan
sosial dari sekolah. Peserta seolah-olah dikondisikan untuk menjadi
individualis-individualis dan kontak sosial dengan teman-teman menjadi
sesuatu yang asing. Itulah beberapa masalah yang perlu diantisipasi bila
suatu saat nanti diputuskan untuk menggunakan tekonologi multimedia
dalam kegiatan pembelajarannya. Apapun teknologi yang akan dipergunakan
hendaknya memperhatikan aspek-aspek tujuan pendidikan yang lebih luas
seperti aspek psikologis, sosial, moral, di samping aspek
kognitif-intelektualnya.
Salah satu usaha yang dikembangkan untuk mengantisipasi
sejumlah potensi masalah diatas maka akhir-akhir ini perhatian kita
semua mulai diarahkan kepada belajar kooperatif dalam pembelajaran
multimedia (Klien & Pridemore, 1992). Hooper (1992) memperluas
pendekatan belajar kooperatif ini dalam lingkungan belajar yang berbasis
komputer.
Ia mengemukakan beberapa keuntungan dan penerapan
belajar kooperatif dalam pembelajaran multimedia antara lain : 1) adanya
ketergantungan dan tanggung jawab dari setiap anggota kelompok. 2)
Adanya interaksi yang promotif di mana usaha seorang individu akan
mendukung usaha anggota kelompok lainnya. 3) Kesempatan latihan untuk
bekerjasama. 4) Pengembangan dan pemeliharaan kelompok. Proses kelompok
yang terjadi di dalam lingkungan belajar ini bisa mendorong anggota
kelompok untuk merefleksikan efektif atau tidaknya strategi yang
digunakan.
Meningkatkan Kualiatas Pembelajaran
Perbaikan kualitas pelatihan diarahkan pada peningkatan
kualitas proses pembelajaran, pengadaan buku paket (modul) dan buku
bacaan atau buku referensi, serta alat-alat pembelajaran. Peningkatan
kualitas proses pembelajaran dilakukan melalui in-service training para guru/tenaga pendidik yang sasarannya adalah meningkatkan penguasaan landasan kependidikan, materi pembelajaran (subject matter), metode dan strategi pembelajaran, pembuatan dan penggunaan alat pembelajaran, serta evaluasi pembelajaran.
Seorang guru atau tenaga pendidik memegang peran penting
dan strategis dalam proses pembelajaran. Proses pembelajaran sebagai
suatu aktivitas untuk meningkatkan pengetahuan, keterampilan, dan sikap
peserta didik berkaitan langsung dengan aktivitas tenaga pendidik itu
sendiri, baik didalam maupun diluar kelas. Sebagai suatu sistem
kegiatan, proses pembelajaran selalu melibatkan pendidik dan peserta
didik. Keterlibatan tenaga pendidik tersebut mulai dari pemilihan dan
pengurutan materi pembelajaran, penerapan dan penggunaan metode
pembelajaran, penyampaian materi pembelajaran, pembimbingan belajar,
sampai pada kegiatan pengevaluasian hasil belajar.
Berkaitan dengan peran tersebut, suatu proses
pembelajaran akan berlangsung secara baik jika dilaksanakan oleh
pendidik yang memiliki kualitas kompetensi akademik dan profesional yang
tinggi atau memadai. Oleh karena itu, peningkatan mutu pelatihan
diupayakan melalui pengutamaan peningkatan mutu pendidik tersebut.
Selengkap dan secanggih apa pun prasarana dan sarana pendidikan, tanpa
didukung oleh mutu dari tenaga pendidik (guru) yang baik, prasarana dan
sarana tersebut tidak memiliki arti yang signifikan terhadap peningkatan
mutu pelatihan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar